Menggunakan harta Secukupnya
Memproduksi barang-barang yang baik dan memiliki harta adalah hak sah menurut Islam. Namun pemilikan harta itu bukanlah tujuan tetapi sarana untuk menikmati karunia Allah dan wasilah untuk mewujudkan kemaslahatan umum, yang memang tidak sempurna kecuali dengan harta yang dijadikan Allah bagi manusia sebagai batu pijakan. Memiliki harta untuk disimpan, diperbanyak, lalu dihitung-hitung adalah tindakan yang dilarang. Ia merupakan penyimpangan petunjuk Allah, Sunnah dan memungkiri keberadaan istikhlaf.
Firman Allah :
“Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu ‘menguasainya’. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahlan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar.” (QS. Al-Hadiid : 7).
Yang dimaksud dengan menguasai disini ialah penguasaan yang bukan secara mutlak. Hak milik pada hakekatnya adalah milik Allah. Manusia menafkahkan hartanya itu haruslah menurut hukum-hukum yang telah disyariatkan Allah. Karena itu tidak boileh kikir dan boros.
Belanja dan konsumsi adalah tindakan yang mendorong masyarakat berproduksi sehingga terpenuhinya segala kebutuhan hidupnya. Jika tidak ada manusia yang bersedia menjadi konsumen , dan jika daya beli masyarakat berkurang karena sifat kikir yang melampaui batas, maka cepat atau lambat, roda produksi niscaya akan terhenti , selanjutnya perkembangan bangsa akan terhambat.1
1 Dr. Yusuf Qardhawi, Norma dan Etika Ekonomi Islam, Alih bahasa Zainal Arifin, Lc. Dan Dra. Dahlia Husin, Gema Insani Press, Jakarta, 1995, hal, 138.